
Dalam harian Tempo yang saya baca hari ini (tulisan ini dibuat 25 April 2015), terdapat berita yang sangat menarik perhatian saya, judulnya “Evolusi Ibu Harimau”.
Dalam tulisan itu disimpulkan bahwa pendidikan yang diperlukan sekarang ini adalah pendidikan yang berbasis pada kemampuan memanfaatkan informasi dan teknologi dalam menyelesaikan masalah, bukan lagi pada pendidikan yang berorientasi pada kemampuan “menandingi” komputer, seperti berhitung dan menghafal.
Hal ini karena memang teknologi dibuat untuk memudahkan pekerjaan manusia.
Apa yang paling dibutuhkan oleh seorang manusia?
Kemampuan bernalar, memecahkan masalah dan menyampaikan gagasan hingga meyakinkan adalah apa yang dibutuhkan manusia pada abad ini. Sehingga sangat perlu kesadaran untuk memprioritaskan ketiga hal tersebut dalam semua sektor pendidikan, baik pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
Selain itu, standarisasi dalam pendidikan juga harus lebih “manusiawi”. Ada ungkapan sindiran yang menyatakan bahwa “Jika Guru hanya bisa mengajarkan satu mata pelajaran saja, mengapa siswa dituntut harus menguasai semua pelajaran?”. Tentu anggapan ini tidak bisa dianggap benar secara keseluruhan, terutama dalam hal pendidikan dasar.
Seseorang perlu untuk mengetahui hal dasar demi bisa mengikuti perkembangan dunia. Tapi yang menjadi masalah ketika penguasaan hal dasar ini dijadikan sebagai ajang “perlombaan”. Tidak banyak guru yang mau memuji nilai “standar” yang didapat oleh siswa, kebanyakan hanya menyanjung pemilik nilai tertinggi, padahal kita tentu mafhum kalau semua manusia senang dipuji.
Akibatnya, orientasi yang ada bukanlah memahami pelajaran, tetapi bagaimana mendapat nilai tinggi. Oleh karenanya, jangan salahkan siswa kalau mereka mencontek, karena mereka sebenarnya juga tidak bisa menerima nilai standar (terlebih karena teman-teman yang lain mendapat nilai tinggi), mereka juga ingin nilai tinggi, padahal kemampuan mereka bukan pada mata pelajaran itu. Jadi satu-satunya cara adalah mencontek.
Evaluasi perlu dilakukan
Cara belajar perlu dievaluasi, reorientasi pendidikan mungkin harus dilakukan minimal secara individu oleh tiap-tiap tenaga pengajar. Tentu bukanlah wewenang saya dalam hal ini untuk memberikan pengaruh apapun kepada sistem pendidikan Indonesia. Tapi, minimal ini adalah suara saya sebagai orang yang “dididik” selama belasan tahun yang mengalami bagaimana atmosfer pendidikan yang benar-benar mendidik itu sangat sulit untuk dirasakan.
Tinggalkan Balasan